Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) di Indonesia mulai dihapus tahun 1870 dan Belanda kemudian memberlakukan Politik Pintu Terbuka (Opendeur Politiek)
 yang memungkikan para kapitalis asing menanamkan modalnya di Indonesia 
sejak akhir abad ke-19. Untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi 
penanaman modal asing di Indonesia, maka Belanda melakukan Perang 
Pasifikasi di seluruh wilayah Indonesia. Berbeda dari peperangan 
sebelumnya yang inisiatif perang berasal dari rakyat Indonesia menentang
 penjajahan Belanda, maka dalam Perang Pasifikasi ini inisiatif perang 
berasal dari Belanda yang ingin menciptakan Pax Neerlandica.
Perang Pasifikasi selama abad ke-19 dan puluhan tahun pertama abad ke-20
 dijalankan oleh Belanda dengan dalih bahwa perlu diadakan pemberantasan
 terhadap keadaan yang buruk dan memulihkan keamanan dan ketenteraman. Pax Neerlandica
 (perdamaian neerlandika) dimaksudkan sebagai kesatuan Indonesia di 
bawah penjajahan Belanda, yang mengandung arti penyatuan dan 
penenteraman (unification dan pacification).
Dalam rangka pasifikasi di wilayah Aceh, Belanda mulai menerapkan siasat
 kekerasan dengan mengadakan serangan besar-besaran ke daerah-daerah 
pedalaman pada tahun 1899. Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh van 
Heutz. Tanpa mengenal perikemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan 
semua penduduk daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu pemimpin 
para pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Dalam 
pertempuran yang terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Jatuhnya Benteng
 Kuto Reh pada tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat 
pendek atau Perjanjian Pendek (Korte Verklaring).
Selama perang Aceh, Van Heutz menciptakan Korte Verklaring 
tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh 
yang tertangkap dan menyerah. Isi dari surat pendek penyerahan diri itu 
adalah: 
1. Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda
2. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri
3. Raja berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda.
1. Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda
2. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri
3. Raja berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda.
Van Heutz mengganti Perjanjian Panjang (Lange Verklaring) dengan Perjanjian Pendek (Korte Verklaring)
 setiap kali suatu daerah hendak dimasukkan ke dalam kekuasaan Belanda. 
Berbeda dengan perundingan yang lama untuk menetapkan banyak syarat 
dalam Perjanjian Panjang, maka dalam Perjanjian Pendek suatu daerah 
hanya perlu menyatakan tiga syarat sebagaimana disebutkan di atas. 
Dengan demikian penertiban di banyak daerah di luar Jawa dapat 
terlaksana dengan cepat. Korte Verklaring yang maksudnya hanyalah
 sekedar pengakuan atas pengakuan kedaulatan Batavia (Pemerintah Hindia 
Belanda), makin lama makin menjadi penyerahan diri mentah-mentah.
Sumber : 
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh. Diakses tanggal 3 Maret 2012.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Simbolon, Parakitri T. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh. Diakses tanggal 3 Maret 2012.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Simbolon, Parakitri T. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas




 Posted By
Posted By 



 
 
 
 
 
 
 

0 komentar:
Posting Komentar