Sebelas Desember setiap tahun diperingati sebagai hari berkabung rakyat
Sulawesi Selatan. Peringatan tersebut dimaksudkan untuk mengenang
kembali peristiwa jatuhnya korban yang tidak terhitung jumlahnya dari
rakyat Sulawesi Selatan akibat tindakan teror tentara Belanda yang
beranggotakan 123 orang di bawah pimpinan Kapten KNIL Reymond Paul
Pierre Westerling.1)
Peristiwa teror itu dimulai pada tanggal 11 Desember 1946 setelah Letnan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook memaklumkan keadaan darurat
perang di sebahagian besar daerah Sulawesi Selatan, meliputi kotapraja
Makassar, Afdeling Makassar, Bonthain, Pare-Pare dan Mandar.2)
Atas perintah Jenderal S. Poor, Panglima KNIL di Jakarta, maka Komandan
KNIL di Sulawesi Selatan, Kolonel H.J. de Vries mengeluarkan surat
perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran
tentara Belanda di bawah komandonya agar serentak menjalankan operasi
pasifikasi atau pengamanan. Operasi pasifikasi berdasarkan keadaan
darurat perang dengan melakukan tindakan tegas, cepat dan keras, tanpa
kenal ampun dengan melaksanakan standrecht atau tembak di tempat tanpa proses.3)
Peristiwa biadab tersebut berlangsung selama kurang lebih lima bulan,
yaitu sampai ditariknya kembali pasukan Westerling dari Sulawesi Selatan
pada tanggal 22 Mei 1947.4)
Ditaksir sekitar 40.000 rakyat Sulawesi Selatan terbunuh, sehingga
peristiwa itu disebut Peristiwa Korban 40.00 Jiwa di Sulawesi Selatan.
Peringatan hari Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan setiap tanggal 11
Desember, bertujuan antara lain, agar kita semua yang masih hidup,
terutama generasi muda, memahami dan menyadari bahwa rakyat Sulawesi
Selatan telah memberikan korban yang amat besar bagi tegaknya
kemerdekaan Republik Indonesia. Kesadaran dan pemahaman tersebut,
diharapkan pada gilirannya akan mempertebal semangat kebangsaan terhadap
bangsa dan tanah air Indonesia, serta kemerdekaan yang merupakan
warisan tak ternilai harganya dari para pejuang yang telah memberikan
pengorbanannya.
Terdapat perbedaan persepsi antara generasi ’45 dengan generasi
sesudahnya mengenai peristiwa teror tersebut. Para pejuang (generasi
’45) memandang peristiwa tersebut sebagai klimaks dari proses perjuangan
rakyat Sulawesi Selatan untuk menegakkan kemerdekaan. Hal itu
dibuktikan dengan besarnya korban yang meninggal, dibanding dengan
korban-korban perjuangan pada masa sebelum dan sesudahnya. Mereka
memberi nilai yang tinggi pada peristiwa itu berdasarkan pengorbanan.
Sebaliknya pendapat kedua memandang peristiwa tersebut sebagai anti
klimaks dari proses perjuangan rakyat Sulawesi Selatan. Alasannya,
Westerling beserta anak buahnya dapat leluasa menjalankan aksinya
terhadap rakyat, karena sudah makin lemahnya perlawanan. Mereka
memandang peristiwa tersebut dari sudut perlawanan dan kepahlawanan.
Perbedaan persepsi itu merefleks pada sikap terhadap penamaan peristiwa
tersebut. Para pejuang, pelaku sejarah, dan saksi mata pada umumnya,
menerima angka 40.000 jiwa korban keganasan Westerling sebagai angka
atau jumlah yang faktual. Hamzah Dg. Mangemba mengatakan, “Tetapi fakta
telah berbicara. Dalam waktu 160 hari (dari 11 Desember 1946 s.d. 22 Mei
1947) Belanda telah membantai 40.000 jiwa korban mulai dari pesisir
barat Sulawesi Selatan di Laut Flores (Afdeling Mandar, Pare-Pare,
Makassar, dan Bonthain”.5)
Generasi yang lebih muda menolak anggapan 40.000 itu adalah faktual.
Angka tersebut dinilai tidak rasional, seperti yang dikemukakan oleh
Yusuf Kalla, “Kalau angka 40.000 jiwa atau setiap hari 330 jiwa tewas.
Tentu jumlah ini tidak mungkin. Rakyat Sulawesi Selatan tidak semudah
itu untuk ditembaki 330 orang per hari.6)
Yusuf Kalla bukannya tidak setuju peringatan hari Korban 40.000 Jiwa,
tapi menurutnya yang harus ditonjolkan adalah perjuangannya, bukan
pengorbanannya. Dia mengatakan, “Di Surabaya, 10 Nopember adalah sejarah
kepahlawanan, sedangkan di Sulawesi Selatan 11 Desember adalah hari
pengorbanan. Padahal Westerling yang memimpin pasukan khusus dikirim ke
Sulawesi Selatan adalah untuk memadamkan perjuangan heroik rakyat
Sulawesi Selatan yang tidak bisa lagi diatasi oleh tentara biasa.
Pejuang kita sebenarnya gagah berani, tapi mengapa tidak ditonjolkan?”7)
Dalam tulisan lainnya di Pedoman Rakyat, dia menjelaskan kerugian bagi
daerah Sulawesi Selatan apabila peringatan 11 Desember lebih menonjolkan
aspek pengorbanannya. Katanya, “Janganlah sifat atau jiwa berkorban
terlalu besar yang menjadi warisan kita. Karena apabila sifat berkorban
terlalu besar menjiwai kita, maka berakibat pada masa depan kita.
Pengalaman setelah 40.000, maka dalam bidang politik demikian juga.
Dengan segala cara, termasuk cara buldozernya Pemilu-pemilu yang lalu
khususnya tahun-tahun 70-80-an dimenangkan 90%, tapi hasil politiknya
untuk daerah, kecil. Begitu pula pengorbanan di bidang ekonomi. Dengan
segala pengorbanan pada rakyat kita, Sulawesi Selatan menjadi lumbung
pangan untuk memberi makan daerah-daerah lain sehingga pernah suatu saat
komoditi-komoditi yang berharga dibabat untuk padi. Tetapi secara
ekonomi pendapatan masyarakat kita jauh lebih rendah dibanding
daerah-daerah yang dibantunya.8) Akhirnya dia berseru, “Sudah waktunya kita menjadi pahlawan, karena itu pengorbanan kita terhormat.”9)
Pendapat yang dilontarkan oleh Yusuf Kalla tersebut mengudang reaksi
yang keras dari kalangan pejuang di Sulawesi Selatan, sehingga beliau
menarik kembali pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf.
Timbulnya perbedaan persepsi mengenai aksi teror Westerling di Sulawesi
Selatan berawal dari persoalan angka 40.000. Oleh sebab itu dalam
tulisan ini akan diuraikan sejarah penamaan peristiwa tersebut.
Dalam buku SOB 11 Desember 1946 sebagai hari korban 40.000 Sulawesi Selatan, dikemukakan:
“Pimpinan-pimpinan kelasykaran, TRI/ALRI yang sampai ke Yogyakarta dengan melaporkan situasi pertempuran di Sulawesi Selatan, yang seterusnya langsung dilaporkan ke presiden RI Soekarno, pada akhir tahun 1947 oleh sebuah delegasi yang dipimpin oleh komandan TRIPS, Letkol Kahar Muzakkar, M. Saleh Lahade, K.S. Mas’ud, M. Saleh Sahban dan seorang dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Pada saat itu dicetuskan istilah korban 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan yang diucapkan oleh Kahar Muzakkar”.10)
“Pimpinan-pimpinan kelasykaran, TRI/ALRI yang sampai ke Yogyakarta dengan melaporkan situasi pertempuran di Sulawesi Selatan, yang seterusnya langsung dilaporkan ke presiden RI Soekarno, pada akhir tahun 1947 oleh sebuah delegasi yang dipimpin oleh komandan TRIPS, Letkol Kahar Muzakkar, M. Saleh Lahade, K.S. Mas’ud, M. Saleh Sahban dan seorang dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Pada saat itu dicetuskan istilah korban 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan yang diucapkan oleh Kahar Muzakkar”.10)
Pernyataan Kahar Muzakkar tersebut dilontarkan sebagai nada protes
karena pada waktu itu Presiden Soekarno selalu menggembar-gemborkan
korban gerbong maut, seperti tergambar dalam kutipan berikut ini:
“Dimana bersamaan waktunya dengan peristiwa terjadinya penggulingan sebuah gerbong barang yang tertutup rapat di mana memuat tawanan TRI diangkut dari Bondowoso pada tanggal 23 Nopember 1947 menuju Surabaya sejumlah 100 orang dan digulingkan ke dalam kali menyebabkan gugurnya 46 orang di antaranya, sehingga oleh Kahar Muzakkar dengan emosional mengucapkan kata-kata bahwa dengan korban hanya 40 orang Bung Karno telah ribut, sedangkan korban 4000 orang bahkan 40.000 orang di Sulawesi Selatan tidak diributkan yang menyebabkan Bung Karno sangat terharu dan menerima baik laporan tersebut serta menjanjikan untuk memenuhi permintaan bantuan pasukan dan senjata para pimpinan TRIPS tersebut.”11)
“Dimana bersamaan waktunya dengan peristiwa terjadinya penggulingan sebuah gerbong barang yang tertutup rapat di mana memuat tawanan TRI diangkut dari Bondowoso pada tanggal 23 Nopember 1947 menuju Surabaya sejumlah 100 orang dan digulingkan ke dalam kali menyebabkan gugurnya 46 orang di antaranya, sehingga oleh Kahar Muzakkar dengan emosional mengucapkan kata-kata bahwa dengan korban hanya 40 orang Bung Karno telah ribut, sedangkan korban 4000 orang bahkan 40.000 orang di Sulawesi Selatan tidak diributkan yang menyebabkan Bung Karno sangat terharu dan menerima baik laporan tersebut serta menjanjikan untuk memenuhi permintaan bantuan pasukan dan senjata para pimpinan TRIPS tersebut.”11)
Keterangan yang sedikit berbeda, dikemukakan dalam buku Arus Revolusi 45
di Sulawesi Selatan, sebagai berikut: “Taksiran demi taksiran diambil,
baik oleh para pejuang Sulawesi Selatan maupun pimpinan TRI Ekspedisi
yang berada di Jawa. Setelah ditimbang dan disesuaikan dengan sejumlah
laporan para pejuang yang hijrah ke Jawa (Maret 1947), Letkol Kahar
Muzakkar menetapkan angka korban 40.000 jiwa. Angka itu diulangi oleh
Presiden Soekarno dalam suatu pertemuan. Maka terpatrilah angka korban
tersebut dalam dada setiap pejuang kemerdekaan di daerah Sulawesi
Selatan.”12)
Tentang jumlah korban teror Westerling di Sulawesi Selatan, Barbara S.
Harvey dengan mengutip berbagai sumber, termasuk dari Westerling
sendiri, antara lain mengungkapkan: “Westerling mengaku bahwa ia
bertanggung jawab langsung atas pembunuhan kurang dari 600 orang
teroris. Pemerintah Belanda telah mengakui bahwa sekitar 2.000 orang
terbunuh selama kampanye pasifikasi.13)
Meskipun dari semula disadari, bahwa angka 40.000 itu bukanlah angka
faktual, namun tetap dipopulerkan karena memiliki nilai strategis
politik dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ketika masalah
sengketa Indonesia-Belanda sedang dibicarakan di Dewan Keamanan PBB
sebagai reaksi badan tersebut terhadap agresi militer Belanda pada Juli
1947, maka isu korban 40.000 jiwa rakyat Sulawesi Selatan dipergunakan
oleh Indonesia untuk menyudutkan Belanda. Upaya Indonesia berhasil
menarik simpati dunia internasional terhadap perjuangan rakyat
Indonesia. PBB mendesak Belanda untuk maju ke meja perundingan. Dengan
demikian upaya Belanda untuk meyakinkan PBB bahwa sengketa
Indonesia-Belanda semata-mata masalah dalam negeri Belanda mengalami
kegagalan. Belanda terpaksa mematuhi resolusi DK PB tanggal 1 Agustus
1947. Di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) diadakanlah
perundingan Indonesia-Belanda di atas kapal Renville pada tanggal 8
Desember 1947.
Selain nilai politis, istilah korban 40.00 jiwa waktu itu mengandung
nilai psikologis kultural. Dengan semangat korban 40.000 jiwa, rakyat
Sulawesi Selatan khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, digugah siri’ dan paccena agar meningkatkan perjuangan menuntut bela atas korban kekejaman Westerling.
Pada hakikatnya panarikan nilai suatu peristiwa sejarah merupakan proses
subyektifikasi, yaitu pemberian interpretasi terhadap suatu peristiwa
sejarah dalam kaitannya dengan kebutuhan masa kini. Demikian pula halnya
dengan makna episode sejarah teror Westerling di Sulawesi Selatan.
Periode perang kemerdekaan dalam sejarah Indonesia memiliki ciri khas,
yaitu sarat dengan semangat, emosi, keberanian, kerelaan berkorban dan
irasional. Semboyan yang sangat populer pada masa itu adalah “Merdeka
atau Mati”. Semboyan ini menunjukkan bahwa semangat pengorbananlah yang
mengemuka saat itu yang kemudian menjiwai peringatan Korban 40.000 Jiwa
di Sulawesi Selatan pada masa itu.
Setelah bangsa Indonesia berhasil menegakkan kemerdekaannya, tantangan
pun berubah. Bangsa Indonesia dihadapkan pada masalah bagaimana mengisi
kemerdekaan itu dengan menggalakkan pembangunan di segala bidang dan
bagaimana menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa merdeka sejajar
dengan bangsa lain dalam menghadapi arus globalisasi dunia. Tentu yang
ingin ditonjolkan bukan lagi semboyan “Merdeka atau Mati”, tetapi lebih
tepat apabila semua pihak melakukan introspeksi diri: “Apa yang telah
kita perbuat untuk bangsa dan negara ini?”
Daftar Referensi:
1) Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra Kerjasama Kodam XIV Hasanuddin,
Unhas dan IKIP Ujung Pandang, SOB 11 Desember Sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi
Selatan, hal. 5
2) Ide Anak Agung Gde Agung. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia
Serikat. Gajah Mada University Press, hal. 130
3) Ibid., hal. 130
4) Ibid., hal. 131
5) H. Hamzah Dg. Mangemba. Makassar Bersinar Antara Logika dan Kebenaran. Pedoman
Rakyat, Kamis 26 Desember 1991, hal. 4
6) Pedoman Rakyat, Tahun XLV No. 277, Jumat 13 Desember 1991, hal. 1
7) Pedoman Rakyat, Tahun XLV No. 295, Kamis 2 Januari 1992, hal. 10
8) Pedoman Rakyat, Jumat 13 Desember 1991, op.cit., hal. 10
9) Ibid, hal. 10
10) Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra, op.cit., hal. 67-68
11) Ibid., hal. 68
12) Drs. Sarita Pawiloy, 1987. Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan, hal. 356
13) Barbara Sillars Harvey, 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta:
Grafiti Pers, hal. 136
1) Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra Kerjasama Kodam XIV Hasanuddin,
Unhas dan IKIP Ujung Pandang, SOB 11 Desember Sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi
Selatan, hal. 5
2) Ide Anak Agung Gde Agung. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia
Serikat. Gajah Mada University Press, hal. 130
3) Ibid., hal. 130
4) Ibid., hal. 131
5) H. Hamzah Dg. Mangemba. Makassar Bersinar Antara Logika dan Kebenaran. Pedoman
Rakyat, Kamis 26 Desember 1991, hal. 4
6) Pedoman Rakyat, Tahun XLV No. 277, Jumat 13 Desember 1991, hal. 1
7) Pedoman Rakyat, Tahun XLV No. 295, Kamis 2 Januari 1992, hal. 10
8) Pedoman Rakyat, Jumat 13 Desember 1991, op.cit., hal. 10
9) Ibid, hal. 10
10) Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra, op.cit., hal. 67-68
11) Ibid., hal. 68
12) Drs. Sarita Pawiloy, 1987. Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan, hal. 356
13) Barbara Sillars Harvey, 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta:
Grafiti Pers, hal. 136
0 komentar:
Posting Komentar