Jumat, 19 Oktober 2012

Reinterpretasi Nilai Sejarah dari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan


Sebelas Desember setiap tahun diperingati sebagai hari berkabung rakyat Sulawesi Selatan. Peringatan tersebut dimaksudkan untuk mengenang kembali peristiwa jatuhnya korban yang tidak terhitung jumlahnya dari rakyat Sulawesi Selatan akibat tindakan teror tentara Belanda yang beranggotakan 123 orang di bawah pimpinan Kapten KNIL Reymond Paul Pierre Westerling.1)
Peristiwa teror itu dimulai pada tanggal 11 Desember 1946 setelah Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook memaklumkan keadaan darurat perang di sebahagian besar daerah Sulawesi Selatan, meliputi kotapraja Makassar, Afdeling Makassar, Bonthain, Pare-Pare dan Mandar.2)
Atas perintah Jenderal S. Poor, Panglima KNIL di Jakarta, maka Komandan KNIL di Sulawesi Selatan, Kolonel H.J. de Vries mengeluarkan surat perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran tentara Belanda di bawah komandonya agar serentak menjalankan operasi pasifikasi atau pengamanan. Operasi pasifikasi berdasarkan keadaan darurat perang dengan melakukan tindakan tegas, cepat dan keras, tanpa kenal ampun dengan melaksanakan standrecht atau tembak di tempat tanpa proses.3)
Peristiwa biadab tersebut berlangsung selama kurang lebih lima bulan, yaitu sampai ditariknya kembali pasukan Westerling dari Sulawesi Selatan pada tanggal 22 Mei 1947.4) Ditaksir sekitar 40.000 rakyat Sulawesi Selatan terbunuh, sehingga peristiwa itu disebut Peristiwa Korban 40.00 Jiwa di Sulawesi Selatan.
Peringatan hari Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan setiap tanggal 11 Desember, bertujuan antara lain, agar kita semua yang masih hidup, terutama generasi muda, memahami dan menyadari bahwa rakyat Sulawesi Selatan telah memberikan korban yang amat besar bagi tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia. Kesadaran dan pemahaman tersebut, diharapkan pada gilirannya akan mempertebal semangat kebangsaan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia, serta kemerdekaan yang merupakan warisan tak ternilai harganya dari para pejuang yang telah memberikan pengorbanannya.
Terdapat perbedaan persepsi antara generasi ’45 dengan generasi sesudahnya mengenai peristiwa teror tersebut. Para pejuang (generasi ’45) memandang peristiwa tersebut sebagai klimaks dari proses perjuangan rakyat Sulawesi Selatan untuk menegakkan kemerdekaan. Hal itu dibuktikan dengan besarnya korban yang meninggal, dibanding dengan korban-korban perjuangan pada masa sebelum dan sesudahnya. Mereka memberi nilai yang tinggi pada peristiwa itu berdasarkan pengorbanan. Sebaliknya pendapat kedua memandang peristiwa tersebut sebagai anti klimaks dari proses perjuangan rakyat Sulawesi Selatan. Alasannya, Westerling beserta anak buahnya dapat leluasa menjalankan aksinya terhadap rakyat, karena sudah makin lemahnya perlawanan. Mereka memandang peristiwa tersebut dari sudut perlawanan dan kepahlawanan.
Perbedaan persepsi itu merefleks pada sikap terhadap penamaan peristiwa tersebut. Para pejuang, pelaku sejarah, dan saksi mata pada umumnya, menerima angka 40.000 jiwa korban keganasan Westerling sebagai angka atau jumlah yang faktual. Hamzah Dg. Mangemba mengatakan, “Tetapi fakta telah berbicara. Dalam waktu 160 hari (dari 11 Desember 1946 s.d. 22 Mei 1947) Belanda telah membantai 40.000 jiwa korban mulai dari pesisir barat Sulawesi Selatan di Laut Flores (Afdeling Mandar, Pare-Pare, Makassar, dan Bonthain”.5)
Generasi yang lebih muda menolak anggapan 40.000 itu adalah faktual. Angka tersebut dinilai tidak rasional, seperti yang dikemukakan oleh Yusuf Kalla, “Kalau angka 40.000 jiwa atau setiap hari 330 jiwa tewas. Tentu jumlah ini tidak mungkin. Rakyat Sulawesi Selatan tidak semudah itu untuk ditembaki 330 orang per hari.6)
Yusuf Kalla bukannya tidak setuju peringatan hari Korban 40.000 Jiwa, tapi menurutnya yang harus ditonjolkan adalah perjuangannya, bukan pengorbanannya. Dia mengatakan, “Di Surabaya, 10 Nopember adalah sejarah kepahlawanan, sedangkan di Sulawesi Selatan 11 Desember adalah hari pengorbanan. Padahal Westerling yang memimpin pasukan khusus dikirim ke Sulawesi Selatan adalah untuk memadamkan perjuangan heroik rakyat Sulawesi Selatan yang tidak bisa lagi diatasi oleh tentara biasa. Pejuang kita sebenarnya gagah berani, tapi mengapa tidak ditonjolkan?”7)
Dalam tulisan lainnya di Pedoman Rakyat, dia menjelaskan kerugian bagi daerah Sulawesi Selatan apabila peringatan 11 Desember lebih menonjolkan aspek pengorbanannya. Katanya, “Janganlah sifat atau jiwa berkorban terlalu besar yang menjadi warisan kita. Karena apabila sifat berkorban terlalu besar menjiwai kita, maka berakibat pada masa depan kita. Pengalaman setelah 40.000, maka dalam bidang politik demikian juga. Dengan segala cara, termasuk cara buldozernya Pemilu-pemilu yang lalu khususnya tahun-tahun 70-80-an dimenangkan 90%, tapi hasil politiknya untuk daerah, kecil. Begitu pula pengorbanan di bidang ekonomi. Dengan segala pengorbanan pada rakyat kita, Sulawesi Selatan menjadi lumbung pangan untuk memberi makan daerah-daerah lain sehingga pernah suatu saat komoditi-komoditi yang berharga dibabat untuk padi. Tetapi secara ekonomi pendapatan masyarakat kita jauh lebih rendah dibanding daerah-daerah yang dibantunya.8) Akhirnya dia berseru, “Sudah waktunya kita menjadi pahlawan, karena itu pengorbanan kita terhormat.”9)
Pendapat yang dilontarkan oleh Yusuf Kalla tersebut mengudang reaksi yang keras dari kalangan pejuang di Sulawesi Selatan, sehingga beliau menarik kembali pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf.
Timbulnya perbedaan persepsi mengenai aksi teror Westerling di Sulawesi Selatan berawal dari persoalan angka 40.000. Oleh sebab itu dalam tulisan ini akan diuraikan sejarah penamaan peristiwa tersebut.
Dalam buku SOB 11 Desember 1946 sebagai hari korban 40.000 Sulawesi Selatan, dikemukakan:
“Pimpinan-pimpinan kelasykaran, TRI/ALRI yang sampai ke Yogyakarta dengan melaporkan situasi pertempuran di Sulawesi Selatan, yang seterusnya langsung dilaporkan ke presiden RI Soekarno, pada akhir tahun 1947 oleh sebuah delegasi yang dipimpin oleh komandan TRIPS, Letkol Kahar Muzakkar, M. Saleh Lahade, K.S. Mas’ud, M. Saleh Sahban dan seorang dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Pada saat itu dicetuskan istilah korban 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan yang diucapkan oleh Kahar Muzakkar”.10)
Pernyataan Kahar Muzakkar tersebut dilontarkan sebagai nada protes karena pada waktu itu Presiden Soekarno selalu menggembar-gemborkan korban gerbong maut, seperti tergambar dalam kutipan berikut ini:
“Dimana bersamaan waktunya dengan peristiwa terjadinya penggulingan sebuah gerbong barang yang tertutup rapat di mana memuat tawanan TRI diangkut dari Bondowoso pada tanggal 23 Nopember 1947 menuju Surabaya sejumlah 100 orang dan digulingkan ke dalam kali menyebabkan gugurnya 46 orang di antaranya, sehingga oleh Kahar Muzakkar dengan emosional mengucapkan kata-kata bahwa dengan korban hanya 40 orang Bung Karno telah ribut, sedangkan korban 4000 orang bahkan 40.000 orang di Sulawesi Selatan tidak diributkan yang menyebabkan Bung Karno sangat terharu dan menerima baik laporan tersebut serta menjanjikan untuk memenuhi permintaan bantuan pasukan dan senjata para pimpinan TRIPS tersebut.”11)
Keterangan yang sedikit berbeda, dikemukakan dalam buku Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan, sebagai berikut: “Taksiran demi taksiran diambil, baik oleh para pejuang Sulawesi Selatan maupun pimpinan TRI Ekspedisi yang berada di Jawa. Setelah ditimbang dan disesuaikan dengan sejumlah laporan para pejuang yang hijrah ke Jawa (Maret 1947), Letkol Kahar Muzakkar menetapkan angka korban 40.000 jiwa. Angka itu diulangi oleh Presiden Soekarno dalam suatu pertemuan. Maka terpatrilah angka korban tersebut dalam dada setiap pejuang kemerdekaan di daerah Sulawesi Selatan.”12)
Tentang jumlah korban teror Westerling di Sulawesi Selatan, Barbara S. Harvey dengan mengutip berbagai sumber, termasuk dari Westerling sendiri, antara lain mengungkapkan: “Westerling mengaku bahwa ia bertanggung jawab langsung atas pembunuhan kurang dari 600 orang teroris. Pemerintah Belanda telah mengakui bahwa sekitar 2.000 orang terbunuh selama kampanye pasifikasi.13)
Meskipun dari semula disadari, bahwa angka 40.000 itu bukanlah angka faktual, namun tetap dipopulerkan karena memiliki nilai strategis politik dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ketika masalah sengketa Indonesia-Belanda sedang dibicarakan di Dewan Keamanan PBB sebagai reaksi badan tersebut terhadap agresi militer Belanda pada Juli 1947, maka isu korban 40.000 jiwa rakyat Sulawesi Selatan dipergunakan oleh Indonesia untuk menyudutkan Belanda. Upaya Indonesia berhasil menarik simpati dunia internasional terhadap perjuangan rakyat Indonesia. PBB mendesak Belanda untuk maju ke meja perundingan. Dengan demikian upaya Belanda untuk meyakinkan PBB bahwa sengketa Indonesia-Belanda semata-mata masalah dalam negeri Belanda mengalami kegagalan. Belanda terpaksa mematuhi resolusi DK PB tanggal 1 Agustus 1947. Di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) diadakanlah perundingan Indonesia-Belanda di atas kapal Renville pada tanggal 8 Desember 1947.
Selain nilai politis, istilah korban 40.00 jiwa waktu itu mengandung nilai psikologis kultural. Dengan semangat korban 40.000 jiwa, rakyat Sulawesi Selatan khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, digugah siri’ dan paccena agar meningkatkan perjuangan menuntut bela atas korban kekejaman Westerling.
Pada hakikatnya panarikan nilai suatu peristiwa sejarah merupakan proses subyektifikasi, yaitu pemberian interpretasi terhadap suatu peristiwa sejarah dalam kaitannya dengan kebutuhan masa kini. Demikian pula halnya dengan makna episode sejarah teror Westerling di Sulawesi Selatan.
Periode perang kemerdekaan dalam sejarah Indonesia memiliki ciri khas, yaitu sarat dengan semangat, emosi, keberanian, kerelaan berkorban dan irasional. Semboyan yang sangat populer pada masa itu adalah “Merdeka atau Mati”. Semboyan ini menunjukkan bahwa semangat pengorbananlah yang mengemuka saat itu yang kemudian menjiwai peringatan Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan pada masa itu.
Setelah bangsa Indonesia berhasil menegakkan kemerdekaannya, tantangan pun berubah. Bangsa Indonesia dihadapkan pada masalah bagaimana mengisi kemerdekaan itu dengan menggalakkan pembangunan di segala bidang dan bagaimana menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa merdeka sejajar dengan bangsa lain dalam menghadapi arus globalisasi dunia. Tentu yang ingin ditonjolkan bukan lagi semboyan “Merdeka atau Mati”, tetapi lebih tepat apabila semua pihak melakukan introspeksi diri: “Apa yang telah kita perbuat untuk bangsa dan negara ini?”
Daftar Referensi:
1)   Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra Kerjasama Kodam XIV Hasanuddin,
      Unhas dan IKIP Ujung Pandang, SOB 11 Desember Sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi 
      Selatan, hal. 5
2)   Ide Anak Agung Gde Agung. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia 
      Serikat. Gajah Mada University Press, hal. 130
3)   Ibid., hal. 130
4)   Ibid., hal. 131
5)   H. Hamzah Dg. Mangemba. Makassar Bersinar Antara Logika dan Kebenaran. Pedoman
      Rakyat, Kamis 26 Desember 1991, hal. 4
6)   Pedoman Rakyat, Tahun XLV No. 277, Jumat 13 Desember 1991, hal. 1
7)   Pedoman Rakyat, Tahun XLV No. 295, Kamis 2 Januari 1992, hal. 10
8)   Pedoman Rakyat, Jumat 13 Desember 1991, op.cit., hal. 10
9)   Ibid, hal. 10
10) Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra, op.cit., hal. 67-68
11) Ibid., hal. 68
12) Drs. Sarita Pawiloy, 1987. Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan, hal. 356
13) Barbara Sillars Harvey, 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta:
     Grafiti Pers, hal. 136



Sameera ChathurangaPosted By Sameera Chathuranga

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat contact me

Thank You

0 komentar:

Posting Komentar