Dalam sejarah Indonesia, masa Demokrasi Terpimpin merupakan suatu
periode yang cukup penting karena penerapan sistem ini membawa pengaruh
besar dalam berbagai segi kehidupan bangsa Indonesia. Mengenai kelahiran
sistem ini, sebenarnya sudah dilontarkan oleh Presiden Soekarno sejak
tahun 1956. Dan sejak tahun 1957 Presiden Soekarno mengemukakannya
secara formal dengan mengusulkan pembentukan kabinet Gotong Royong dan
pembentukan Dewan Nasional.
Dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno menyatakan konstitusi 1950
tak berlaku lagi dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sistem pemerintahan
presidensial ini dipandang sebagai alternatif yang sesuai di Indonesia
bila dibandingkan dengan sistem Demokrasi Liberal yang merupakan impor,
dan dipandang sebagai upaya kembali kepada semangat revolusi nasional.1)
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno langsung memimpin
pemerintahan dan bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan (Perdana Menteri) serta membentuk Kabinet Kerja yang
menteri-menterinya tidak terikat kepada partai.2)
Konsepsi Presiden Soekarno ini didasarkan pada penafsiran “terpimpin”
dari isi pembukaan UUD 1945, tepatnya sila keempat Pancasila yang
berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”, dimana “terpimpin” diartikan sebagai
terpimpin secara mutlak oleh diri pribadinya dan menciptakan atribut
“Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi Angkatan Perang“, sehingga
Presiden menjadi penguasa tertinggi dan mutlak di dalam negara.3)
Di dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa presiden adalah mandataris MPR,
dengan demikian, presiden berada dibawah MPR. Namun dalam kenyataannya
anggota MPR (S) diangkat berdasarkan penetapan presiden. Presidenlah
yang harus menentukan apa saja yang akan diputuskan MPR (S). Hal ini
berarti bahwa UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Sebagai akibatnya, terjadi ketidakstabilan kehidupan ketatanegaraan
terutama dalam bidang politik. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa
tindakan Soekarno yang otoriter seperti menetapkan Manipol (Manifesto
Politik) sebagai GBHN (Pen-Pres no. 1 tahun 1960), pembubaran DPR hasil
Pemilu (Pen-Pres no. 3 tahun 1960, pembentukan DPR Gotong Royong untuk
mengganti DPR hasil Pemilu yang dibubarkan (Pen-Pres no 4 tahun 1960 ).
Begitu pula dalam penggantian ketua,wakil dan anggota, wakil dan anggota
DPR-GR, Presiden Soekarno Pen-Pres tanpa meminta persetujuan lembaga
legislatif yang ada, tetapi menurut keinginan Soekarno sendiri”.4)
Tindakan Presiden Soekarno yang inkonstitusional ini menimbulkan
perpecahan dalam negeri, terutama dengan angkatan bersenjata di bawah
Nasution. Selain dengan Nasution, Soekarno memandang Masyumi dan PSI
sebagai penghalang kebijaksanaan yang akan diambilnya, apalagi dikaitkan
dengan pemberontakan PRRI/Permesta, di mana menurut Soekarno; militer,
Masyumi dan PSI terlalu lemah dalam menangani masalah PRRI tersebut.
Kini Indonesia bergerak menuju radikalisme yang akan memberi peluang
kepada PKI untuk berkembang walaupun walaupun masih menghadapi
permusuhan dengan pihak tentara. Tersisihnya tentara di dalam pandangan
Soekarno dan semakin dekatnya PKI merupakan gambaran inti kehidupan atau
suasana politik masa awal demokrasi terpimpin yang dalam beberapa
tulisan Soekarno dicap sebagai diktator. Namun oleh beberapa sejarawan
menolak anggapan tersebut, seperti pendapat Prof. Legge (guru besar
sejarah dari Universitas Monash, Melbourne) yang dikutip oleh Moedjanto
yakni sebagai berikut:
Betapapun juga besarnya kekuasaan Soekarno tetapi pemusatan kekuasaan secara riil tidak ada padanya. Yang nampak justru pembagian kekuasaan dengan kekuatan sosial politik lain meskipun tidak secara koinstitusional. ia tidak mengambil keputusan secara egosentris tetapi bermusyawarah dulu meski ia yang paling menentukan. Seorang dikataor membrangus pers dan memenjarakan lawan politiknya dalam suatu kamp konsentrasi adalah hal biasa. Tetapi di jaman Soekarno pembrangusan pers dan pemenjaraan lawan politiknya hanya merupakan suatu kekecualian, tidak merupakan hal yang umum”5)
Meski diakui bahwa situasi politik pada masa awal demokrasi terpimpin
tidak stabil namun untuk mengatakan bahwa Soekarno seorang diktator
diperlukan penelaahan yang lebih mendalam. Namun dapat disimpulkan bahwa
tindakan Soekarno dalam menerapkan Demokrasi menimbulkan pro dan
kontra, begitu juga penilaian terhadap tindakannya.
Daftar Referensi:
1) Michail Leifer. 1986. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta:Gramedia, hal. 78
2) G. Moedjanto. 1988. Indonesia Abad ke-20 Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius, hal. 115
3) Muhammad Abduh et.al. 1986. Sejarah Indonesia Mutakhir. FPIPS IKIP Ujung Pandang,
hal. 38
4) Ibid., hal. 40
5) G. Moedjanto, op.cit. hal. 118
1) Michail Leifer. 1986. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta:Gramedia, hal. 78
2) G. Moedjanto. 1988. Indonesia Abad ke-20 Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius, hal. 115
3) Muhammad Abduh et.al. 1986. Sejarah Indonesia Mutakhir. FPIPS IKIP Ujung Pandang,
hal. 38
4) Ibid., hal. 40
5) G. Moedjanto, op.cit. hal. 118
0 komentar:
Posting Komentar