Sehubungan dengan kedatangan Sekutu di Indonesia pada bulan September
1945 serta adanya ketegangan-ketegangan yang timbul dan dapat mengancam
pemerintahan Indonesia, maka kondisi demikian menuntut pemerintah untuk
segera membentuk tentara kebangsaan.
Ada dua pendapat tentang siapa yang pertama melontarkan ide pembentukan
sebuah tentara kebangsaan. Dalam buku “Kilas Balik Revolusi” dikemukakan
bahwa:
Dalam hal ini agaknya perlu disebut peranan Daan Jahja, salah seorang mahasiswa Ika Daigaku yang dikeluarkan dari sekolah setelah pemogokan mahasiswa yang kemudian menjadi perwira PETA. Daan Jahja dengan gigih menganjurkan pembentukan suatu kekuatan militer, menggantikan PETA yang sudah dibubarkan. Badan Keamanan Rakyat (BKR) lalu dibentuk keesokan harinya.1)
Sedangkan G. Moedjanto mengemukakan bahwa yang pertama melontarkan ide
membentuk tentara adakah Urip Sumoharjo. Hal ini mungkin benar karena
beliau pernah menyatakan kepada pemerintah tentang ide pembentukan
tentara nasional dengan berpendapat “aneh negara zonder tentara”.2) Oleh karena itu pemerintah memanggil Urip untuk diserahi tugas mengorganisasi tentara nasional.
Pemerintah Indonesia sebelumnya telah menetapkan pembentukan Badan
Keamanan Rakyat (BKR, yakni pada tanggal 22 Agustus 1945 melalui hasil
rapat PPKI. Namun pembentukan badan ini belumlah menyerupai tentara yang
sesungguhnya dan hanya merupakan suatu badan yang memelihara
keselamatan masyarakat dan keamanan.
Untuk mengetahui bagaimana hakekat sebenarnya dari BKR, di bawah ini dikutip penjelasan T.B. Simatupang sebagai berikut:
Pemerintah mengeluarkan maklumat atau dekrit tentang pembentukan Badan Keamanan Rakyat. Seperti terbukti dari namanya yang dipilih, maka badan bersenjata yang dipilih dan didirikan itu adalah alat untuk menjamin keamanan di dalam negeri. BKR didirikan dalam hubungan siasat all is running well. Yakni siasat pemerintah yang didasarkan atas anggapan bahwa kita akan dapat memperjuangkan pengakuan secara de jure asal saja kita dapat membuktikan bahwa segala sesuatu berjalan beres di daerah kita.3)
Menurut Aboe Bakar Loebis, tugas dan status BKR adalah menjaga keamanan
rakyat bersama-sama dengan jawatan-jawatan negeri yang bersangkutan. BKR
dipimpin dan diawasi oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) setempat. BKR
adalah badan perjuangan rakyat dan bukan lembaga pemerintah.4)
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa pembentukan BKR
semata-mata untuk menjaga keamanan rakyat guna mendapatkan pengakuan
secara de jure dan belum menyerupai tentara yang sesungguhnya yang
bertugas mengamankan negara dan rakyatnya dari teror tentara pendudukan
Sekutu dan NICA.
Dengan adanya ketegangan yang melahirkan pertempuran-pertempuran
menghadapi Sekutu dan NICA dengan BKR yang berada di bawah pengawasan
KNI-D, sehingga mempersulit pemerintah pusat dalam memperhitungkan
kekuatannya. Oleh karena itu pada tanggal 5 Oktober 1945, pemerintah
mengeluarkan maklumat untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang
berbunyi sebagai berikut:
Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakanlah suatu Tentara Keamanan Rakyat.
Jakarta, 5 Oktober 1945
Presiden Republik Indonesia
Soekarno.5)
Maksud dan tujuan dibentuknya TKR adalah seperti dijelaskan oleh Balai
Penerangan Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat saat lahirnya
tanggal 5 Oktober 1945, yang antara lain mengatakan bahwa TKR tidaklah
dijadikan alat dalam melakukan perampasan hak-hak orang lain, tidak
digunakan untuk melakukan angkara murka, tetapi ia dibentuk menjamin
keamanan dan ketenteraman negara. Di sini rakyat harus merasa dilindungi
dan dibela kehidupannya. TKR bukanlah suatu tentara untuk menindas
rakyat, tetapi sebaliknya, ia merupakan sebuah sarana yang juga
membangkitkan semangat rakyat guna pembangunan negara Republik
Indonesia.6)
Tentara Indonesia lahir, bukan dibentuk oleh pemerintah, akan tetapi
lahir karena tuntutan perjuangan. Mereka membentuk dan mempersenjatai
dirinya dan mengadakan koordinasi berintikan tenaga-tenaga muda yang
telah mendapatkan latihan dan senjata dari Jepang. Karena pembentukan
tentara terjadi pada masa revolusi, maka dalam perjalanannya pun selalu
mengalami perubahan. TKR yang berdiri pada tanggal 5 Oktober 1945
dirubah namanya menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25
Januari 1946.
Perubahan tersebut disebabkan beberapa faktor, antara lain beberapa
badan perjuangan (laskar-laskar) belum bersedia meleburkan diri ke dalam
TKR. Mereka menganggap setiap warga negara berhak untuk ikut serta
dalam pembelaan negara. Bahkan mereka berpendapat bahwa laskar lebih
berhak hidup karena langsung bersumber dari rakyat, sementara TKR
dinilainya hanya menjadi alat pemerintah (negara) yang dikendalikan oleh
sejumlah partai tertentu. Di samping itu nama TKR tidak cukup menarik.7)
Situasi tersebut menyebabkan sering terjadi kesulitan karena tindakan
laskar yang mengambil inisiatif sendiri di luar kontrol pusat. Kerena
itu sistem desentralisasi terpaksa diadakan. Untuk mengantisipasi agar
pertentangan itu tidak berlanjut, maka Presiden Soekarno sebagai
panglima tertinggi mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Mei 1947 untuk
membentuk TNI yang berisi sebagai berikut:
Karena situasi dan kondisi, maka dengan ini diinstruksikan untuk mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi TNI, yang pelaksanaannya diserahkan kepada sebuah panitia yang diketuai oleh Panglima Tertinggi dengan memasukkan ke dalamnya berbagai badan, baik resmi maupun tidak resmi yang ada sangkut pautnya dengan pembelaaan negara.8)
Berdasarkan kerja keras antara pemerintah dan pihak militer, maka
terbentuklah TNI di mana laskar-laskar dan badan perjuangan melebur di
dalamnya. Sehubungan dengan itu juga TNI menggunakan sistem sentralisasi
untuk memudahkan pengontrolan. Kekuatan militer inilah yang berperan
dalam upaya mempertahankan kedaulatan RI.
Daftar Referensi:
1) Aboe Bakar Loebis, 1992. Kilas Balik Revolusi. Jakarta: Universitas Indonesia Press
2) Drs. G. Moedjanto, MA, 1991. Indonesia Abad ke-20, dari Kebangkitan Nasional sampai
Linggajati. Yogyakarta: Kanisius, hal. 119
3) T.B. Simatupang, 1981. Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai. Jakarta: Sinar Harapan,
hal. 86
4) Aboe Bakar Loebis, op.cit., hal. 101
5) Nugroho Notosusanto, 1986. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Sinar Harapan, hal. 41
6) Ruslan Abdulgani, 1987. Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: Pustaka Merdeka, hal. 359
7) Drs. G. Moedjanto, op.cit., hal 122
8) Ibid., hal. 122
1) Aboe Bakar Loebis, 1992. Kilas Balik Revolusi. Jakarta: Universitas Indonesia Press
2) Drs. G. Moedjanto, MA, 1991. Indonesia Abad ke-20, dari Kebangkitan Nasional sampai
Linggajati. Yogyakarta: Kanisius, hal. 119
3) T.B. Simatupang, 1981. Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai. Jakarta: Sinar Harapan,
hal. 86
4) Aboe Bakar Loebis, op.cit., hal. 101
5) Nugroho Notosusanto, 1986. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Sinar Harapan, hal. 41
6) Ruslan Abdulgani, 1987. Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: Pustaka Merdeka, hal. 359
7) Drs. G. Moedjanto, op.cit., hal 122
8) Ibid., hal. 122
0 komentar:
Posting Komentar