Munculnya Jepang sebagai negara imperialis
di Asia pada penghujung abad ke-19 merupakan suatu fenomena yang tidak
dapat diremehkan begitu saja, khususnya bagi negara-negara yang terletak
di kawasan Asia Pasifik. Cita-cita Jepang untuk menjadi “pewaris
tunggal” di Asia dilaksanakan melalui serangkaian petualangan militer.
Dimulai dengan insiden Mukden (1931) untuk merebut Manchuria, kemudian
menyerbu Cina (1937), selanjutnya menduduki Indocina (1941). Jalan
menuju ke Asia Tenggara sudah terbuka dan Jepang tinggal menunggu saat
yang tepat untuk membuka Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya yang
direncanakannya dalam rangka merebut sumber-sumber minyak di kawasan
Asia Tenggara, terutama di Indonesia.
Kegagalan perundingan dagang antara Jepang dan Hindia Belanda pada
pertengahan tahun 1941 adalah suatu petunjuk akan pecahnya perang.
Delegasi Jepang yang dipimpin oleh Matsuoka dan wakil pemerintah Belanda
yang dipimpin oleh Van Mook terlibat dalam pertentangan politik yang
berakhir dengan kegagalan sesudah enam bulan mengadakan perundingan.
Mulanya pemerintah Hindia Belanda nampaknya tidak begitu khawatir
mengenai percaturan politik di Asia Pasifik. Di dalam negeri mereka
telah berhasil mengarahkan gerakan nasionalis ke jalan yang moderat dan
dengan hati-hati mengucilkan mereka dari massa rakyat. Di luar
pemerintah Belanda sedikit banyak merasa terjamin menghadapi keadaan
politik internasional di Pasifik dengan adanya kesatuan dalam gabungan
kekuatan A-B-C-D (America-Britain-China-Dutch).1)
Keyakinan tersebut mengakibatkan mereka dapat mengabaikan begitu saja
tuntutan-tuntutan kaum pergerakan Indonesia. Jurang pemisah antara
rakyat dengan pemerintah makin bertambah lebar dan tak terjembatani. Tak
dapat dihindari, kaum pergerakan kini mengarahkan perhatiannya pada
Jepang yang dianggap dapat mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda di
Indonesia. Namun hal ini bukan berarti bahwa mereka mendukung ekspansi
Jepang, apalagi bekerja sama dalam menggulingkan pemerintahan Hindia
Belanda. Bagaimanapun juga sikap anti fasisme menyebabkan mereka kebih
berhati-hati dalam menanggapi keberadaan Jepang. Hanya karena kekecewaan
terhadap sikap pemerintah yang menghalangi mereka membantu pihak
Belanda menghadapi Jepang.
Ratulangi, M.H. Thamrin, Soetardjo, dan lain-lain di Nationale
Commentaren dan di penerbitan-penerbitan lainnya, agak khawatir dan
menyuarakan peringatan akan keinginan ekspansionisme Jepang, tetapi di
samping itu, di latar belakang tulisan-tulisan mereka tercermin suara
gembira dan puas bahwa negara-negara lain ikut campur urusan Indonesia.2)
Sikap ini tercermin juga dari pernyataan Soebardjo, “Bagaimana Belanda
menolak tuntutan ini dan itu dari kita (pergerakan), mereka (Belanda)
sama sekali menganggap sepi gerakan Indonesia, tentu kita lalu melihat
pada Jepang”.3)
Keyakinan akan pecahnya Perang Pasifik yang akan mengantarkan rakyat
Indonesia mencapai kemerdekaannya, sebenarnya sudah diramalkan oleh
tokoh pergerakan. Bung Hatta pada saat pelantikannya sebagai ketua
Perhimpunan Indonesia tahun 1926 mengucapkan pidato yang berjudul
“Economische Wereldbouw en Machstegenstellingen” (Bangunan Ekonomi Dunia
dan Pertentangan Kekuasaan). Dalam pidatonya Bung Hatta mengupas
mengenai kemungkinan pecahnya Perang Pasifik, antara lain mengatakan:
Semenjak Pasifik menunjukkan perkembangan ekonominya, sejak itu ia masuk pada pusat ekonomi dunia. Pertentangan kekuasaan sudah mulai, yang akan berkembang menjadi drama-drama bangsa-bangsa yang hebat, yang di masa sekarang kita belum dapat menggambarkannya. Karena apabila peperangan Pasifik sekali terjadi tidak saja akan merupakan pertempuran berdarah antara Timur dan Barat, tetapi juga akan menyudahi kekuasaan bangsa-bangsa kulit putih atas bangsa-bangsa kulit berwarna…. 4)
Sejak tahun 1929 Soekarno juga telah menyatakan keyakinannya bahwa
Perang Pasifik akan mempercepat tercapainya kemerdekaan. Hal ini diakui
pula oleh M.H. Thamrin ketika dalam rapat tanggal 7 Desember 1939 ia
mengatakan:
Dalam waktu yang tidak lama lagi Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya. Soal kemerdekaam Indonesia juga besangkut paut dengan masalah internasional, di mana pada waktu ini sedang berkecamuk Perang Dunia II.5)
Dalam waktu yang tidak lama lagi Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya. Soal kemerdekaam Indonesia juga besangkut paut dengan masalah internasional, di mana pada waktu ini sedang berkecamuk Perang Dunia II.5)
Agaknya keyakinan akan pecahnya Perang Pasifik yang akan mengakhiri
kekuasaan Belanda di Indonesia ditambah dengan sikap pemerintah yang
tidak mengindahkan tuntutan kaum pergerakan, mendorong mereka untuk
memerhatikan Jepang yang diharapkan dapat memberikan
perkembangan-perkembangan politik baru.
Masa tahun 1940-1942, pertentangan antara pemerintah dengan
fraksi-fraksi nasional di volksraad semakin meruncing dan menciptakan
keadaan yang mencemaskan pemerintah kolonial Belanda. Menghadapi situasi
demikian, pemerintah Hindia Belanda melakukan tindakan pengamanan
terhadap tokoh pergerakan yang dianggap berbahaya. Pada bulan Januari
1941 pihak kepolisian menangkap Husni Thamrin dan Douwes Dekker yang
dianggap mempunyai hubungan dengan kaum pergerakan yang radikal dan
Jepang.
Akhirnya ketegangan di Pasifik akibat pertentangan kepentingan antara
Jepang dengan pihak Barat atas Asia pecah menjadi perang ketika Jepang
memulai serangannya ke Pearl Harbour pada tanggal 7 Desember 1941.
Dengan kecepatan yang mengagumkan Jepang telah menduduki basis-basis
Amerika di Pasifik (Kepulauan Guam dan Wake), kemudian Hongkong dan
terus ke Filipina. Awal Januari 1942 penyerbuan Jepang ke Indonesia
dimulai. Kini kekuasaan Belanda pada saat-saat terakhirnya.
Ketika pecah perang tersebut, Hatta dari tempat pembuangannya di Banda,
menulis sebuah artikel yang menyerukan perlawanan terhadap Jepang.
Baginya tidak ada perbedaan antara imperialisme Eropa dengan
imperialisme Asia. Dalam artikelnya, Hatta mengatakan:
Kalau kita yakin bahwa cita-cita kita dalam bahaya karena tindakan Jepang, tidak ada pendirian yang terpaku, melainkan menentang imperialisme Jepang itu. Sekalipun kita tahu, boleh jadi ia akan menang masih wajib bagi kita mempertahankan cita-cita yang terancam itu. Lebih tenggelam dengan cita-cita daripada hidup bercermin bangkai.6)
Sementara Soekarno yang merasa yakin bahwa peperangan itu akan
mengantarkan Indonesia mencapai kemerdekaannya, seruan itu tidak
terpikirkan. Demikian pula tokoh-tokoh pergerakan lainnya mengambil
sikap pasif.
Dalam pertempuran di laut Jawa (27 Pebruari-1 Maret 1942), balatentara
Jepang berhasil menghancurkan armada gabungan Belanda, Inggris,
Australia dan Amerika. Rakyat Indonesia hanya sedikit sekali memberikan
bantuan, bahkan kadang-kadang dengan senang hati berbalik melawan
serdadu Belanda.7)
Pada tanggal 9 Maret 1942 Jenderal Ter Poorten, Panglima Tentara Belanda
di Indonesia menandatangani penyerahan tak bersyarat (kapitulasi) di
Kalijati kepada Jenderal Imamura. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan
Belanda di Indonesia.
Daftar Referensi:
1) Ahmad Soebardjo Djoyaodisuryo, S.H. 1978. Kesadaran Nasional Sebuah Otobiografi.
Jakarta: Gunung Agung, hal. 224
2) Onghokham. 1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia, hal. 118
3) Ibid., hal. 119
4) I. Wangsa Widjaya. 1988. Mengenang Bung Hatta. Jakarta: Haji Masagung, hal. 32
5) Sutrisno Kutojo dan Mardanas Safwan. nd. Oto Iskandar Dinata Riwayat Hidup dan
Perjuangannya. Jakarta: Bhratara, hal. 40
6) Bernhard Dahm. 1987. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES, hal. 263
7) M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan oleh Drs. Dharmono
Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 294
1) Ahmad Soebardjo Djoyaodisuryo, S.H. 1978. Kesadaran Nasional Sebuah Otobiografi.
Jakarta: Gunung Agung, hal. 224
2) Onghokham. 1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia, hal. 118
3) Ibid., hal. 119
4) I. Wangsa Widjaya. 1988. Mengenang Bung Hatta. Jakarta: Haji Masagung, hal. 32
5) Sutrisno Kutojo dan Mardanas Safwan. nd. Oto Iskandar Dinata Riwayat Hidup dan
Perjuangannya. Jakarta: Bhratara, hal. 40
6) Bernhard Dahm. 1987. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES, hal. 263
7) M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan oleh Drs. Dharmono
Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 294
0 komentar:
Posting Komentar